Hans (bukan nama sebenarnya), bersama putrinya, duduk bersimpuh di
makam ibunya. Semua peziarah kubur dan tukang-tukang kembang, melihat
pria ini kelihatan sangat menyayangi dan kehilangan akan sosok ibunya.
Berhari-hari
dia duduk di samping makam itu. Tapi tidak ada yang tahu kalau apa yang
dilakukan Hans sudah terlambat. Ia menyesal karena telah menyia-nyiakan
kesempatan untuk berbakti kepada ibunya.
Suatu hari, ketika
hendak menikah, Hans bilang kepada calon istrinya bahwa ibu kandungnya
sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Istrinya pun tak mempersoalkan hal itu. Di lain pihak, Hans sempat
menyampaikan hal itu kepada ibunya sewaktu masih hidup. Hal ini
dilakukannya karena dia tidak ingin istrinya meninggalkannya.
Ibunya
pun tidak mempermasalahkan hal itu. Sebab, ibunya juga menyadari apa
yang telah dilakukan Hans itu, karena dirinya tak sempat merawat dan
membimbing Hans. Ibunya hanya bilang; “Nggak apa-apa Hans, yang penting kamu tetap mendoakan ibu.”
Orang-orang
di kampungnya pun tahu Hans telah menikah. Namun mereka tidak pernah
tahu bagaimana rupa istrinya. Mereka tidak pernah melihatnya. Hans
memang bukan anak yang taat kepada ibunya. Birrul walidain-nya kepada orang tua kurang bagus, kurang berbakti.
Sekian
puluh tahun yang silam, Hans ditinggal wafat ayahandanya. Hal itu
terjadi kira-kira saat usianya 10 tahun atau saat kelas 3 SD.
Sepeninggal ayah Hans, ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi,
karena khawatir ayah tirinya tidak mnyayangi Hans.
Hans tumbuh
bersama ibunya. Karena kasih sayangnya, ibunya melakukan apa saa yang
terbaik demi Hans. Segala rupa dilakoni untuk menghidupi Hans, dari
menjadi penjahit, jualan es, jadi buruh pabrik, buruh migran di luar
negeri, dan sebagainya.
Ketika ibunya kembali ke Tanah Air, Hans sudah menjadi anak yang
cerdas, bahkan bisa menembus salah satu perguruan tinggi terkemuka di
salah satu kota di Indonesia.
Entah bagaimana hidupnya, suatu
ketika Hans berubah. Dia kenal dengan salah seorang perempuan yang kaya.
Dan Hans mengaku dia hidup sebatang kara. Jadi, istrinya tidak tahu
kalau ibunya Hans, saat itu, masih hidup.
Ini bukan kisah di sinetron, saya bertemu langsung dengan sosok Hans. Ketika ibunya wafat, Hans menyesal sekali.
Sebab, Hans tak sempat mengenalkan anaknya yang pertama kepada
ibunya, atau nenek dari anaknya. Putra kedua dan ketiga juga demikian.
Mereka tak pernah melihat wajah nenek atau ibu dari ayahnya.
Karena
itu, ketika ibunya wafat, Hans sangat menyesali kesalahannya. Ia
menyesal sedalam-dalamnya. Ia merasa telah menipu dirinya, istrinya,
anaknya, dan semua orang yang dicintainya. Ia telah berbohong. Dan
akibat kebohongannya, ia merasa sulit untuk memperbaikinya.
Bahkan,
ketika ibunya sakit, ia tak jua datang untuk menjenguknya. Alasannya
sibuk. Namun, sebelum wafat, ibunya menuliskan sebuah surat agar surat
itu ditujukan kepada Hans, dan hanya boleh dibuka saat ibunya sudah
tiada.
Hans tidak bercerita apa isi surat ibunya itu, tapi Hans
sangat menyesalinya. Itulah kenapa pada akhirnya Hans bersimpuh
berhari-hari di makam ibunya. Namun semuanya sudah terlambat, ibunya
sudah tiada.
Sahabat , banyak pelajaran yang
saya dapatkan dari kisah Hans ini. Banyak kesempatan bagi kita untuk
senantiasa berbakti kepada orang tua.
Selagi mereka masih hidup, janganlah lupa untuk selalu berbakti dan
mendoakan ibu dan ayah. Bersimpuh dan memohon doa padanya, Jangan
sampai, apa yang dialami Hans, terjadi pada kita. Padahal, jasa ibu dan
ayah, sangat besar.
Yusuf Mansyur______
masa beraninya marahin ibu2, he he he...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar