Malam sudah larut. Kadir masih duduk menemani Zikro yang tengah menyelesaikan tahapan akhir finishing lemari. Sejak dua hari lalu Kadir tidak pulang ke rumah, tapi ke bengkel kerja Zikro yang memiliki kebiasaan kerja malam. Zikro seperti bukal (Sasak: kelelawar), siang tidur malam melek.
Kadir tidak ingin Zikro bekerja tanpa pendampingan, apalagi sudah mendekati deadline. Bukannya tidak percaya—bahkan bagi Kadir, Zikro adalah salah satu orang yang paling bertanggungjawab yang pernah ia temui—tapi sebagai agen pemesanan dia ingin memastikan hasil hasil setiap pekerjaan harus maksimal dan memuaskan seperti yang selama ini ditunjukkan Zikro.
“Apa yang kau pikirkan tentang bacaan basmallah?” Kadir tiba-tiba mengagetkan Zikro dengan pertanyaan tak biasa.
Kadir sebenarnya tidak ingin benar-benar bertanya. Dia hanya ingin mengetahui apa yang dipikirkan Zikro. Zikro orang yang sederhana. Pendidikannya tsanawiyah—setingkat SMP—namun sangat gemar membaca. Dia bisa diajak ngobrol apa saja, seperti orang yang kaya wawasan.
“Kenapa, Miq Kadir?”
“Gak. Sekedar nanya aja.”
Zikro memandang kaligrafi basmallah yang menghiasi dinding bengkel tepat searah pandangannya. Dia melepas peralatan tukangnya.
“Menurut saya,” katanya kemudian, sambil memperbaiki posisi duduknya di atas bangku, “basmallah adalah konfirmasi bahwa kita adalah khalifatullah, wakil Allah—seorang ambasador Tuhan di bumi ini.”
“Bukankah kita makhluk terusir?”
Zikro tidak bereaksi. Kadir melanjutkan kata-katanya sambil mengutip sebuah ayat.
“Itu yang dijelaskan dalam Al-Baqarah, ayat 36,
“Dan setan menggelincirkan Adam dan Hawa, dan mengeluarkan mereka bedua dari jannah itu.”
“Kalau diperhatikan baik-baik, ayat itu jelas sekali menegaskan bukan Allah yang menggelincirkan dan mengeluarkan manusia, tapi setan.” Kadir menanggapi.
“Tapi banyak keterangan yang menyebutkan bahwa Adam dan Hawa terusir dari jannah dan ditempatkan di bumi.”
“Mari kita baca secara lebih seksama, setidaknya dari ayat 30,” Zikro mengajak Kadir mentadarrusi ayat dengan lebih teliti. “Ayat ke 30 Al-Baqarah itu dengan terang benderang menjelaskan bahwa sejak awal Allah merencanakan manusia sebagai pengelola bumi. Bahkan Dia menyebut manusia sebagai khalifah-Nya—wakil-Nya, pengganti-Nya di bumi, seorang ambasador dari Yang Maha Agung.”
Zikro berhenti sejenak sambil menerka pertanyaan yang bergelayut di benak Kadir.
“Nah, adanya setan dalam proses penyiapan manusia menjadi khalifah Allah di bumi,” lanjut Zikro, “hanya sebuah rintangan yang harus ditaklukkan dalam pertualangan menggapai kesejatian. Ini juga untuk menyadarkan manusia bahwa setan akan selalu ada dan terus menerus membisiki manusia dalam menjalani tugas kekhalifahan itu. Bukankah dalam sebuah hadits shahih Nabi mengingatkan bahwa setiap manusia, termasuk Nabi sendiri, didampingi oleh malaikat dan setan? Karena itu kita harus mawas diri. Harus terus berta’awwudz?”
“Terus apa hubungannya dengan basmallah?” Kadir tidak sabar mendapat jawaban atas pertanyaan awalnya.
“Ketika seorang membaca basmallah saat melakukan sesuatu, dia berarti sedang mengikrarkan diri melakukan hal tersebut atas nama Allah.”
“Atas nama Allah?”
“Ya. Atas nama Allah.”
“Terus?”
“Nah ini yang penting,” sergah Kadir seperti sedang mendapat angin untuk menyampaikan gagasannya. “Ketika seseorang sadar bahwa dia melalukan sesuatu atas nama Allah, maka pertama setidaknya dia akan memastikan bahwa apa yang dikerjakannya adalah sesuatu yang baik—yang diridoi Allah, yang jauh dari setan.”
Kadir menatap Zikro dengan rasa ingin tahu dan ta’zhim: “Yang kedua?”
“Yang kedua, dia akan melakukan itu dengan sebaik-baiknya, memberikan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Ente tentu lebih bisa menjabarkan filosifi do your best yang sering ente katakan ke ane. Ketiga, orang yang berbasmallah adalah dia yang melakukan setiap pekerjaan dengan tulus, sepenuh hati, dengan dasar cinta—terlepas dibayar atau tidak. Ketika dia tidak sanggup lagi dia akan jujur mengatakan tidak mampu. Sebab, dalam kalimat lengkap basmallah, Allah hanya memilih nama ar-Rahman (Yang Maha Mengasihi) dan ar-Rahim (Yang Maha Mencintai) dari nama-namaNya yang lain.”
Kadir memandangi serbuk kayu bekas gergajian yang memenuhi area kerja Zikro. Bangku kerja Zikro seolah tenggelam dalam genangan serbuk.
“Dir, serbuk-serbuk kecil yang rapuh ini pun selalu berbasmallah. Selalu bertasbih, mensucikannya. Selalu tulus dan sepenuh hati berbuat untuk manusia.”
“Seperti sungai Nil yang mengalir dengan bismillah, itu, kah?”
“Ente mengingat dengan baik kisah Umar r.a. dengan sungai Nil itu. Keren sekali.”
Zikro menepuk pundak Kadir dan mengajaknya menikmati kopi yang baru disiapkan istrinya.
“Keempat,” lanjut Zikro sebelum Kadir meminta, “dan ini tidak kalah penting, basmallah mendorong orang untuk menjaga diri, muru`ah, kehormatan sebagai wakil Tuhan. Masa, seorang ambassador Allah akan macem-macem?”
Aroma kopi jahe yang diseduh dengan kematangan yang pas membubul. Zikro dan Kadir bener-bener menikmatinya.
“Saya punya yang kelima, Zik.”
Zikro menatap Kadir. Sekarang berbalik, dia yang penasaran menunggu kata-kata Kadir. “Apa yang kelimat itu.”
“Kasih sayang membuat orang ingin memberi, dengan keikhlasan dan tanpa perhitungan. Allah Maha Mengasihi dan Menyayangi, karena itu pemberian-Nya tanpa batas. Membaca basmallah juga mengandung pesan agar kita memupuk cinta kasih pada makhluk Allah yang lain sehingga tergerak untuk memberi, berkontribusi, atas nama cinta, penuh ikhlas dan tanpa batas. Dia akan memberi dengan karya penuh dedikasi, seperti ente. Orang yang tidak memiliki cinta tidak mungkin bisa memberi.”
Zikro melongo. Ia tersenyum tanda akur dengan kata-kata Kadir. “Ane setuju, tetapi ane belum sebaik itu.”
“Ane salut ama kerja ente, Ro.” Kadir Nampak akan mengakhiri obrolan. “Tapi lain kali cobalah ubah pola tidur ke siang hari. Agar malam hari waktu bisa maksimal untuk keluarga. Bukankah Allah menciptakan siang untuk mencari kehidupan dan malam untuk istirahat?”
Zikro tersenyum.
“Ente, bener. Ana sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan gaya ini. I’ll try, bro.”
“Dan, yang pasti, diskusi malam ini tidak menjadi alasan target kerjaan bisa diundur. Deal?”
“Pasti. Karena ane gak ingin bayarannya ente tahan juga.”
Mereka tertawa. Kadir berpamitan. Zikro melanjutkan kerja. Satu kali dua puluh empat jam lagi pekerjaan harus selesai. Bukan sekedar selesai, tapi juga berkualitas: kualitas cinta. Kalau tidak, akan cacat dan tertolak.
Zikro terngiang sebuah hadist Nabi yang dia maknai sendiri pesannya. “Setiap pekerjaan yang tidak dibarengi dengan spirit basmallah, maka hasil pekerjaan itu tidak maksimal, tak layak dan pantas ditolak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar